Salat yang Penting atau yang Penting Salat?
Beberapa hari yang lalu,
saya diamanati oleh pengurus pondok untuk berbicara di depan forum dalam rangka
kegiatan khitobah mingguan pondok. Tema yang saya angkat pada saat itu adalah
salat (sebuah tema yang sangat mainstream tentunya). Bisa dibilang ini merupakan
seri lanjutan dari pembahasan minggu sebelumnya yang juga membahas salat.
Titik tekan pembahasan
pada minggu sebelumnya ada pada bagian akhir Q.S. Thaha ayat 14 yang berbunyi
“dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku”. Kurang lebih Mas Ashom (mahasantri
yang saat itu bertugas) menekankan pada salat yang hanya menjadi formalitas
ibadah (dianggap sekedar ritual ibadah wajib saja), akan tetapi perlu juga
dimaknai sebagai upaya mengingat Allah SWT. Sedang saya menitikberatkan
pembahasan khitobah pada arti filosofi salat. Saya akan sedikit mengulik kedua
topik di atas untuk coba mengambil konklusi yang lain.
Bagian akhir Q.S Thaha
ayat 14 yang berbunyi “dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku” sebenarnya
menimbulkan sedikit polemik di kalangan mufasssirun. Dari ayat ini
muncul dua pendapat, dimana pendapat pertama menyatakan arti akhir ayat
tersebut adalah “Salat-lah untuk mengingat Allah SWT”. Sedangkan pendapat yang
kedua mengartikannya sebagai berikut “Salat-lah ketika kau ingat”. Dapat
disimpulkan pendapat pertama menekankan aspek tasawuf dari salat, sedang yang
kedua menekankan pada aspek fikih.
Pendapat pertama ini pada
gilirannya menimbulkan polemik tersendiri. Beberapa orang memahami bahwa secara
tidak langsung penafsiran ini menganggap perintah salat hanya dilakukan untuk
mengingat Allah SWT sehingga tak perlu salat apabila kita sudah mengingat Allah
SWT. Pada akhirnya, dari pemahaman ini mereka (yang memahami penafsiran) mendelegitimasi
perintah wajibnya salat dalam Islam. Jelas kiranya kalau pemahaman terhadap
penafsiran ini rancu, karena tidak mungkin para ulama yang menafsirkan dari
pendapat pertama bertujuan untuk mendelegitimasi perintah wajib salat.
Menurut saya, dibanding
memahami penafsiran pertama seperti itu, mengapa kita tidak coba memahaminya
secara terbalik saja! Bagaimana kalau kita memahaminya seperti ini? Allah SWT
mewajibkan sholat sebagai mediasi mengingat-Nya adalah karena dasarnya manusia
yang sering salah dan lupa, sebagaimana yang kerap kita lakukan yaitu mengingat
Allah hanya di saat butuh dan kerap lupa ketika sudah diberi. Dari pemahaman
ini, kita bisa menyimpulkan bahwasannya kewajiban salat itu ada salah satunya
untuk mengantisipasi keadaan manusia yang kerap lupa akan penciptanya—Allah
SWT. Kalau boleh berpendapat tentang khitobah yang disampaikan Mas Ashom,
pemahaman ini sesuai dengan apa yang dia sampaikan malam itu. Menurut khitobah
yang disampaikannya, kita perlu untuk memaknai salat tidak sekedar formalitas
ibadah saja, tapi juga sebagai upaya mengingat Allah SWT.
Menyambung pernyataan tersebut,
salah satu filosofi salat yang saya sampaikan dalam khitobah saya adalah salat
merupakan sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya. Betapa sayangnya
Allah kepada kita, manusia, yang sering melupa sehingga kita difasilitasi Allah
untuk selalu berkomunikasi dan ingat kepada-Nya melalui ibadah salat. Maka,
tidak heran apabila dalam salah satu kitab disebutkan bahwa salat termasuk
ibadah fisik yang paling utama .[1]
Dalam salat juga terdapat
gerakan sujud yang mana merupakan keberadaan kepala kita pada titik terendah.
Meski berada pada titik terendah, di mata Allah SWT kita berada di sisi-Nya
yang paling dekat. Titik terendah kita pada salat merupakan jarak terdekat kita
kepada Allah SWT. Ini memberi pemahaman bahwa rendahnya kita di mata manusia
tidak mengartikan bahwa juga rendah di mata Allah SWT.
Melalui tulisan ini saya
akhirnya menemukan relavansi atas apa yang disampaikan oleh Habib Ja’far dalam
salah satu kontennya, di mana beliau menjelaskan pentingnya salat dalam
kehidupan seorang muslim. Beliau berkata seburuk-buruknya kelakuan kita, kita
tetap harus menjaga salat kita. Selain sebagai penanda mukmin atau kafir, dari
ketetapan kita untuk menjalankan salat ini, harapan dan pintu untuk terus
kembali kepada Allah SWT itu selalu ada dan selalu terbuka. Mengutip Q.S.
al-Maa’un ayat 4-5, mereka yang meninggalkan sama saja telah mendustakan agama.
Semoga kita tidak termasuk dalam golongan tersebut dan semoga Allah terus
menjaga dan memperbaiki salat kita ke depannya.
Wallahu A’lam bis-Shawaab
Muhammad 'Ariiq Nabhan Fathi -
Komentar
Posting Komentar