Merayakan Fana dan Psikadelia, Mengubur Diri Sendiri
Sembari mengemas
kenangan-kenangan yang berserakan di tahun kemarin dan menyiapkan berbagai
figura untuk kemudian diisi dengan potret kenangan di tahun ini, ada baiknya
kita kembali berfikir tentang keberadaan kita sebagai manusia. Mahluk yang
disebut Al Quran sebagai sebaik-baiknya konstruksi yang Tuhan ciptakan,
sekaligus juga mahluk yang diatributi oleh-Nya dengan sifat kelemahan. Apakah
pemaknaan kita mengenai keberadaan diri ini sudah mendekati kata tepat, atau
justru apa yang kita pahami selama ini masih belum akurat?
Namun, sebelum kita
memasuki dimensi abstrak dalam pikiran untuk dihuni keping-keping buah tafakkur
tentang makna keberadaan, ada baiknya kita mengenal 'tempat' dimana kita
berada, yaitu dunia. Saya akan mencoba memberikan terminologi dunia yang kita
huni ini dengan penggalan bait lagu yang belakangan sering saya putar, yaitu
lagu berjudul 'Merayakan Fana' milik Barasuara. Adapun penggalan baitnya
seperti ini :
"kita lintasi ribuan
pelangi"
"merayakan fana, dan
psikadelia"
Ribuan pelangi pada bait
lagu di atas adalah bentuk metafora dari dunia yang kita huni sekarang ini.
Pelangi dengan segala keindahannya yang penuh nirmala serta memanjakan mata,
sejatinya adalah suatu hal yang bersifat temporer atau sementara. Segalanya
akan hilang seiring waktu berjalan dan hanya akan menjadi elegi yang mengendap
di pikiran. Oleh karena itu, pada hakikatnya kita semua sedang merayakan hal
yang fana dan psikadelik, yang tak lain dan tak bukan adalah dunia ini.
Selayaknya sebuah perayaan, setiap nyawa bersuka cita menikmatinya, berharap perayaan
tersebut tidak berujung dan kebahagian mengabaikan setiap detik yang terhitung.
Namun, di sisi lain, sebuah tikar raksasa yang bernama dunia telah siap
digulung, kapanpun itu sesuai kehendak Sang Maha Agung.
Seorang penyair pada masa
Abasiyah bernama Abul 'Atahiyah berkata dalam syairnya:
أَلا
نَحنُ في دارٍ قَليلٍ بَقائُها # سَريعٍ تَدانيها وَشيكٍ فَنائُها
غَدًا
تَخرَبُ الدُنيا وَيَذهَبُ أَهلُها # جَميعًا وَتُطوى أَرضُها وَسَماؤُها
Ingatlah! Kita berada di
pemukiman, yang tak lama lagi menjemput ketiadaan # Dunia bergegas menjelma
reruntuhan, dan segera hancur berantakan.
Besok dunia akan musnah,
seluruh penduduknya pergi seolah punah # Bumi dan langit luluh lantah tanpa
mengenal arah.
Bentuk merayakan dunia
mungkin tidak dapat digambarkan semeriah dan semegah pesta perayaan tahun baru
ataupun perayaan lainnya yang sejenis tetapi sedikit yang saya pahami dari
merayakan dunia adalah disibukkannya seseorang akan kenikmatan dunia itu
sendiri, terbuai, serta terlena oleh angan-angannya yang tiada henti. Mari kita
buka kembali lembaran Nashaihul Ibad pada rak yang masih tertata rapi
untuk menyelami makna kutipan syair Sayyidina 'Ali:
يا
من بدنياه اشتغل * قد غره طول الامل
اولم
يزل فى غفلة * حتى دنا منه الاجل
Wahai orang yang
tersibukkan oleh dunia # Tinggi anganmu telah menipumu secara nyata.
Tak henti-hentinya kau
merayakan fana # Hingga ajal mendekatimu tanpa suara.
Setelah kita mengenal
tempat kita berada, mari kita kembali ke tujuan awal kita untuk bertafakkur
tentang keberadaan kita di dunia. Saya akan mencoba memulai bagian tafakkur ini
dengan sebuah ungkapan "Semakin dalam akar terkubur menghujam humus,
semakin tenang sebuah pohon manakala angin menghunus". Tentu saya tidak
mungkin menghadirkan ungkapan di atas secara asal-asalan, tanpa pertimbangan, dan membelokkan arah
pembahasan. Karena sebenarnya dari ungkapan itulah kita dapat mewujudkan dan
memanifestasikan makna keberadaan kita sebagai manusia.
Imam Ibnu 'Ataillah dalam
kitabnya yaitu Al Hikam berkata:
ادفن
وجودك في أرض الخمول، فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه
Kuburlah keberadaanmu di
dalam bumi ketiadaan; karena segala yang tumbuh tetapi tak dalam ditanam, tak
kan sempurna pula buah yang dihasilkan.
Dari paragraf sebelumnya
dapat kita ketahui bahwa bentuk memanifestasikan keberadaan kita yang hakiki
adalah dengan mengubur keberadaan kita sendiri. Dengan mengubur diri kita
sendiri ke dalam liang lahat bernama ketiadaan, maka kita mampu memutus
keterikatan terhadap dunia dan seisinya yang seolah tampak berkilauan, dalam
artian tidak terbuai, terlena maupun tertipu oleh dunia, segala kenikmatan dan
hiruk pikuknya, serta angan-angan tinggi untuk mencapainya. Dengan perasaan
yang seperti itulah manusia mampu menghasilkan buah manis berupa ketenangan
jiwa, karena semakin terikatnya seseorang akan suatu hal, maka semakin besar
pula kemungkinan hal tersebut menyakiti dan melukainya. Namun buah manis utama
yang dihasilkan adalah didekatkan oleh dan kepada penciptanya, karena
sesungguhnya keberadaan dan eksistensi manusia tidak lain hanyalah atas
kehendak yang Maha Ada, Maha Mengadakan, serta Maha Selalu Ada nan Selalu Maha
Ada.
Kurang lebih seperti
itulah setetes air yang saya pahami tentang samudera makna keberadaan kita
sebagai manusia jika bercermin dari perkataan Imam Ibnu 'Ataillah. Namun, pada
akhir semuanya akan saya kembalikan kepada pembaca, karena tentunya tulisan ini
hanyalah buah pemikiran dari saya pribadi, dari literatur yang kebetulan saya
ketahui, dan sudah pasti masih banyak kekurangan. Rasanya saya juga perlu
memberikan pernyataan kepada pembaca bahwa syair-syair yang saya kutip tidak
benar-benar saya terjemahkan secara tekstual, akan tetapi saya modifikasi
sehingga menghasilkan rima dan keindahan subjektif bagi saya pribadi, tentu
tanpa mengaburkan substansi maknanya.
Demikian,
Wallahu A'lamu bis Showab.
Abdul Mannan Nashir Dza Hilmin -
Komentar
Posting Komentar